Pemerintah Menggandeng Ormas Islam Cegah Covid-19, Mungkinkah?
Jakarta (21/9). Saat negara-negara lain mulai membuka perbatasannya, untuk memutar ekonomi terutama berkaitan dengan bisnis dan pariwisata. Justru sebaliknya, dengan Indonesia. Pada awal September, 59 negara menolak kedatangan Warga Negara Indonesia (WNI). Malahan saat Singapura membuka perbatasannya untuk warga Thailand, Malaysia, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja. Namun belum memasukkan Indonesia dalam daftar tersebut.
“Penolakan negara lain ini menunjukkan, upaya mencegah penyebaran Covid-19 ini masih panjang. Negara-negara lain, belum menerima kunjungan WNI menunjukkan kepercayaan terhadap negeri kita dalam mencegah penyebaran Covid-19 masih rendah,” ujar Pj Ketua Umum DPP LDII, Chriswanto Santoso.
Menurutnya, oleh karena itu tanggung jawab mencegah penyebaran Covid-19, bukan hanya tugas pemerintah saja tapi segenap elemen rakyat Indonesia. Hanya saja, untuk menggerakkan masyarakat berperan aktif dalam mencegah penyebaran Covid-19, belum sepenuhnya berjalan.
“Komunikasi antara pemerintah dan masyarakat masih searah. Di lain sisi, media massa melalui pemberitaannya menciptakan ketakutan tersendiri. Akibatnya, masyarakat bereaksi negatif dan hanya sibuk melindungi diri sendiri, namun kesadaran untuk mengajak orang lain masih rendah,” ujar Chriswanto.
Inilah fungsi strategis, pemerintah menggandeng ormas Islam, dalam upaya menekan penyebaran Covid-19. Menurut Chriswanto, pemerintah perlu melakukan konsolidasi dengan ormas keagamaan, terutama ormas Islam, karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, “Bagi umat Islam, para kyai dan pengurus ormas Islam adalah opinion leader, yang memungkinkan segala bentuk program pemerintah disosialisasikan oleh mereka,” papar Chriswanto.
Umat Islam di Indonesia, yang menghimpun dalam ormas-ormas Islam, memiliki keterikatan emosional yang kuat dengan para ulama, atau para kyai. Dari ijma’ atau nasehat-nasehat mereka di pesantren, masjid, hingga majelis taklim tingkat RT/RW, umat Islam bisa mendapat pemahaman yang utuh mengenai mencegah Covid-19 tanpa ketakutan yang berlebihan.
Alasan lainnya, menurut Chriswanto, para ulama dan kyai dari berbagai pondok pesantren klasik di Indonesia dengan kajian fiqihnya, sangat memahami bagaimana karantina dilakukan dan mengatasi problem sosial kemasyarakatan akibat wabah.
“Para ulama tak hanya memahami prinsip-prinsip karantina dalam la dharara wala dhirar; ‘tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat’, mereka juga belajar dari sejarah bagaimana Rasulullah dan para khalifah menangani efek sosial ekonomi saat terjadi wabah,” imbuh Chriswanto Santoso.
Menurut Chriswanto, DPP LDII pada 10 Agustus lalu, menggelar webinar bertema “Menjadi Pesantren Sehat pada Era Pandemi”, merupakan langkah untuk memahami Covid-19 dari berbagai pihak, mulai dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU), hingga pakar wabah, untuk memahami wabah. Pengetahuan dan informasi tersebut lalu digetoktularkan ke pengurus LDII di tingkat provinsi hingga kelurahan.
“Informasi tersebut kemudian disebarkan hingga tingkat majelis taklim, agar setiap keluarga dalam lingkungan LDII bisa menerapkan protokol kesehatan,” ujar Chriswanto.
Chriswanto Santoso menegaskan, rantai edukasi dari pemerintah mengenai Covid-19 juga bisa diterapkan dengan menggandeng PBNU, PP Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lainnya. Sehingga “perang” melawan Covid-19 ini, bisa dimenangi pemerintah dan rakyat Indonesia. Sebagai kemenangan bersama.